MUDIK di tahun ini menunjukkan angka “normal”. Angkanya diperkirakan menyentuh 85 juta. Kemacetan parah pun tak terhindarkan.
Fenomena mudik kini mulai menunjukkan angka “normal”. Setelah dua kali Lebaran dilarang, masyarakat seperti melampiaskan kerinduan kampung halaman dengan mudik massal.
Sebuah survei bahkan memprediksi angkanya mencapai 85 juta pemudik. Itu artinya sama dengan 7 kali total jumlah warga DKI Jakarta. Wow, angka yang fantastis.
Sepertinya, warga perantauan tak lagi mampu membendung kerinduan mereka dengan kampung halaman. Rindu dengan sanak kerabat, rindu dengan tanah kelahiran, rindu dengan masa lalu sebelum pandemi datang.
Diperkirakan, arus mudik mengalami puncaknya pada hari ini, tanggal 29 April. Hal ini karena prediksi Lebaran bisa jatuh pada Senin, tanggal 2 Mei.
Dahsyatnya, kerinduan-kerinduan tadi mampu menerobos segala hambatan yang secara rasional memang sangat berat.
Hambatan pertama soal libur sekolah yang tidak lagi di awal Ramadan. Hal ini lantaran pemda DKI dan sekitarnya baru saja menerapkan pendidikan tatap muka, meskipun masih terbatas.
Kedua, kondisi ekonomi nasional masih jauh dari kata pulih. Bahkan, kenaikan kebutuhan pokok baru saja terjadi di awal April ini. Padahal, sejumlah bidang usaha masih jatuh bangun.
Artinya, dengan kondisi yang bisa dikatakan minim, masyarakat tetap semangat untuk bersusah payah menuju kampung halaman.
Sebuah lembaga survei bahkan menyebut 60 persen pemudik saat ini pulang dengan tanpa membawa oleh-oleh. Bukan karena mereka pelit atau irit, melainkan karena ketidakberdayaan ekonomi.
Inilah sebuah fenomena lain dari arus mudik tahun ini. Sebuah arus kerinduan yang tak lagi bisa terbendung. Mereka tetap mudik, meskipun dengan kemampuan ekonomi ala kadarnya.
Selain sebagai penampakan kerinduan yang luar biasa itu, hal tersebut juga menunjukkan keuletan masyarakat Indonesia. Menariknya, keuletan inilah yang secara langsung mampu mendongkrak geliat ekonomi nasional. [Mh]