ChanelMuslim.com – Allah telah menciptakan mahkluk secara berpasangan. Begitu juga manusia, terdiri dari laki-laki dan wanita atau jantan dan betina. Sebagaimana disampaikan dalam firman-Nya :
”Dan Kami ciptakan dari segala sesuatu berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.” (QS. Adz-Dzariyat [51]: 49)
Dia menetapkan sifat dasar pada masing-masing dari dua jenis makhluk ciptaan-Nya yang memiliki berbagai perbedaan biologis sesuai dengan watak alamiah yang telah ditentukan. Tentunya berbeda-beda antara satu dengan yang lain. Tidak ada yang satu lebih tinggi dari yang lain.
Dia memberi jalan kemudahan (dengan hikmah atau rahasia-Nya) bagi setiap makhluk-Nya untuk menempuh takdir-Nya masing-masing. Dengan menerapkan aturan ini, diharapkan manusia dapat memakmurkan alam semesta dan terus memanfaatkan waktu hidupnya tanpa henti atau putus. Maha Suci Allah Yang telah menentukan setiap penciptaan sesuai kehendak-Nya.
Islam dan Perbedaan Biologis.
Allah menciptakan manusia dari segumpal darah lalu menentukan fase-fase kejadiannya, termasuk usia, jodoh, rezeki dan nasibnya. Kemudian, Allah juga yang memudahkan jalan baginya untuk keluar dari rahim.
Selanjutnya, Allah berkehendak menjadikan anak itu sebagai khalifah di muka bumi yang bertugas menjaga dan merawat bumi sebaik-baiknya.
Allah berfirman,
”Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, 'Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.'Mereka berkata, 'Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?' Tuhan berfirman ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.’” (QS Al-Baqarah [2]: 30)
Kemudian Allah menciptakan manusia dengan suku, bangsa, ras dan warna kulit yang berbeda-beda. Tujuannya untuk memakmurkan alam semesta.
Masing-masing dari mereka pun dipenuhi rasa saling membutuhkan satu sama lain. Seseorang membutuhkan orang lain, begitu juga sebaliknya. Namun, perbedaan antar individu pada dasar penciptaan (dan yang dikehendaki oleh hukum alam) mengakibatkan adanya perbedaan dalam karakteristik manusia secara biologis.
Dari sini diketahui bahwa sifat alami secara psikologis antara dua jenis kelamin atau bahkan di antara individu-individu yang sejenis kelaminnya menjadi ciri atas adanya perbedaan dalam ilmu pengetahuan, potensi, dan kesiapan pada masing-masing individu.
Lebih lanjut, atas semua keadaan ini mendorong sebagian mereka untuk memenuhi kebutuhannya dengan cara yang tidak halal, misalnya dengan cara merampas, mencuri, merampok, atau cara-cara zalim lainnya.
Dari sinilah, konflik atau gesekan di antara mereka akan muncul. Konflik tersebut menjadi faktor utama seseorang akan hidup celaka dan sengsara, akibat terus memelihara sikap berlomba-lomba dalam mencapai berbagai ambisi, baik secara materi maupun kehormatan.
Oleh karena itu, manusia membutuhkan undang-undang yang mengatur hubungan antar individu. Undang-undang itu akan menentukan peran setiap orang berdasarkan jenis kelaminnya dan potensi alami yang dimilikinya.
Selanjutnya, undang-undang tersebut akan menjelaskan kepada mereka sebuah aturan untuk memberi perlindungan hak masing-masing dan mencegah dari adanya perselisihan. Dengan begitu, setiap individu merasa aman atas jiwanya sendiri, kehormatannya, dan harta kekayaannya. Semua urusan menjadi teratur dan kepentingan bersamapun terlaksana.
Namun, undang-undang apa yang dimaksud dari pernyataan tersebut?
Para cerdik-cendekia sepakat bahwa undang-undang yang menerapkan sistem di atas adalah sistem perundang-undangan yang adil.
Masalahnya, siapa yang dapat membuat prinsip-prinsip keadilan dan mengajak semua kalangan untuk mengikutinya?
Ada yang menjawab, mereka adalah orang-orang yang cerdas. Padahal, kita sadar betul bahwa jika kita tela’ah secara mendalam, kita akan mengetahui bahwa akal manusia sangat terbatas untuk membuat prinsip-prinsip keadilan tersebut. Sebab, orang yang membuat prinsip-prinsip itu harus seorang yang sangat memahami kemaslahatan bersama secara menyeluruh yang bentuknya akan semakin komplek seiring dengan perkembangan zaman.
Selain itu, ia juga harus seorang yang memahami aspek alamiah penciptaan manusia berikut karakternya masing-masing. Hal ini demi mendukung adanya perundang-undangan yang serasi dan seimbang.
Hal ini tidak mungkin dapat dilakukan oleh manusia. Karena, di samping terhalang oleh kriteria-kriteria di atas, manusia juga mempunyai akal atau ide yang berbeda-beda dan rentan terpengaruh oleh hawa nafsu dan ambisi yang menggebu-gebu.
Selain itu, undang-undang di atas juga tidak memberi ruang bagi adanya penyelewengan, meskipun dalam kondisi tidak ada orang yang mengawasinya. Karena itu, kedudukan hukum juga bertujuan positif, tidak ada yang bertujuan untuk melakukan pembelaan hak, meniadakan perselisihan, dan menciptakan keamanan yang menyeluruh.
Oleh sebab itulah, ada kebutuhan yang mendesak untuk meniti sebuah sistem yang mencakup semua sisi kehidupan manusia dalam berbagai aspek. la adalah sistem yang dibuat oleh Pencipta manusia. Dialah Allah Yang Maha Mengetahui atas ciptaan-Nya. Allah berfirman,
”Apakah Allah Yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu tampakkan dan rahasiakan)? Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahu. ‘ (QS Al-Mulk [67]: 14)
Hukum yang melakukan itu semua adalah perundangan yang disyariatkan oleh Allah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. Dia tetapkan peran masing-masing pada setiap butir hukum yang ditetapkan.
Seandainya manusia memperhatikan secara seksama hukum syariat dan merenungkan tujuan dari pensyariatannya, tentu ia akan menemukan (secara global) bahwa hukum syariat mencerminkan adanya keberlangsungan hidup. Tanpa aturan, ajaran dan hukum tersebut, manusia tentu akan tersesat dari jalannya dan kehilangan rasa kemanusiaannya.
[Maya/ Sumber: Kemukjizatan Al-Qur’an dan Sunah (ensiklopedia), DR. Magdy Shehab dkk, Komunitas Tadabbur Al-Qur'an (KontaQ)]