MENGHUKUM dilakukan terhadap pelanggaran yang nampak. Harus ada fakta, saksi, dan bukan sekadar mengira-ngira.
Ada kisah menarik dari Khalifah Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Beliau pemimpin yang tegas. Tidak toleran dengan keburukan dan kemaksiatan.
Suatu kali, khalifah curiga dengan penghuni sebuah rumah. Ia meyakini di dalam rumah itu sedang terjadi kemaksiatan.
Mungkin karena masih belum ada bukti, khalifah tidak menyertakan orang lain untuk bisa membuktikan. Ia sendiri yang menyelinap masuk ke rumah itu.
Benar saja, keyakinan khalifah memang benar. Pemilik rumah dipergoki sedang melakukan kemaksiatan. Memang, riwayat kisah tidak menyebutkan apa jenis kemaksiatannya.
Setibanya di dalam rumah, khalifah memarahi pelaku. Ia pun bermaksud akan menghukum pelaku dengan hukum syariah.
Tapi di luar dugaan, si penghuni rumah justru melawan balik. Orang itu mengatakan, saya memang melakukan maksiat. Tapi hanya satu jenis saja. Sementara Anda melakukan tiga kesalahan.
Khalifah terkejut dengan yang diucapkan penghuni rumah. Si penghuni rumah menjelaskan, kesalahan pertama khalifah mematai-matai orang tanpa bukti. Dan hal itu tergolong ‘tajasus’ yang dilarang dalam Surah Al-Hujurat ayat 12.
Kesalahan kedua, khalifah memasuki rumah orang lain tidak melalui pintu yang dibenarkan, melainkan dengan cara memanjat. Dan hal itu dilarang dalam Surah Al-Baqarah ayat 189.
Kesalahan ketiga, khalifah masuk ke rumah orang lain tanpa izin dan tanpa mengucapkan salam. Hal itu melanggar Surah An-Nur ayat 27.
Khalifah terdiam dengan ucapan penghuni rumah. Tapi, ia meminta penghuni rumah untuk bertaubat dari maksiatnya.
Setelah meninggalkan penghuni rumah begitu saja, khalifah mengajak diskusi para stafnya. Bisakah menghukum orang yang bermaksiat dengan satu saksi.
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu menjawab bahwa tidak diperkenankan menghukum orang hanya dengan satu saksi. Minimal dua saksi. (Ihya Ulumuddin, Imam Ghazali)
**
Islam mengajarkan bahwa kita menghukum kesalahan yang tampak, dan itu pun dengan dua saksi. Tidak bisa dengan asumsi atau kira-kira.
Dalam nalar ilmu fikih bersuci juga disampaikan hal yang sama. Yang namanya najis itu yang ada di luar, bukan yang di dalam dan tidak kelihatan dan tidak berbau.
Hal ini karena di dalam tubuh kita banyak berisi najis: darah, kotoran, dan lainnya. Jadi, diajarkan untuk menghukum yang terlihat.
Begitu pun dalam interaksi pergaulan. Jangan hukumi seseorang sebagai pelaku kejahatan dan keburukan, hanya berdasarkan asumsi dan persangkaan.
Maha Benar Allah dalam firman-Nya, “Hai orang-orang beriman, jauhilah banyak dari prasangka. Sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa…” (QS. Al-Hujurat: 12) [Mh]