APA hukum menggabungkan shalat sunnah tahiyatul masjid dengan shalat sunnah qabliyah? Ada pertanyaan tentang hal tersebut yang diajukan kepada Ustaz Farid Nu`man.
Afwan, Ustaz. Saya mau tanya tentang shalat Fajar dan shalat Tahiyatul Masjid. Jika shalat Fajar kan dilakukan setelah adzan Shubuh.
Sedangkan masjid di dekat rumah saya, jeda antara adzan dan iqomah terlalu singkat. Jadi kalo mengerjakan 2 shalat sunnah Tahiyatul masjid dan sholat Fajar, waktunya tidak cukup. Baiknya bagaimana ya Ustadz? Atau lebih diutamakan yang mana? Syukron atas jawabannya Ustadz.
Baca Juga: Jangan Biasakan Memberikan Hukuman kepada Anak
Hukum Menggabungkan Shalat Sunnah Tahiyatul Masjid dengan Shalat Sunnah Qobliyah
Bismillah wal Hamdulillah.
Mungkin, maksudnya menggabungkan shalat tahiyatul masjid dengan shalat sunnah fajar (qabliyah Shubuh), sedangkan shalat fajar adalah shalat Shubuh itu sendiri.
Boleh bagi seseorang yang melaksanakan shalat sunnah rawatib juga meniatkan sebagai shalat tahiyatul masjid, hal ini dikatakan para ulama, si antaranya sebagai berikut:
Imam An Nawawi Rahimahullah berkata:
ولا يشترط أن ينوي بالركعتين التحية بل إذا صلى ركعتين بنية الصلاة مطلقا أو نوى ركعتين نافلة راتبة أو غير راتبة أو صلاة فريضة مؤداة أو مقضية أو منذورة أجزأه ذلك وحصل له ما نوى وحصلت تحية المسجد ضمنا ولا خلاف في هذا قال أصحابنا وكذا لو نوى الفريضة وتحية المسجد أو الراتبة وتحية المسجد حصلا جميعا بلا خلاف
Tidak disyaratkan melalukan dua rakaat sebagai tahiyatul masjid, tetapi jika seseoran melakukan shalat dua rakaat dengan niat shalat mutlak, atau shalat sunnah rawatib atau yang bukan rawatib, atau shalat wajib, baik pada waktunya atau qadha.
Maka, itu telah cukup dan dia telah mendapatkan apa yang dia niatkan, dan dia juga mendapatkan tahiyatul masjid tercakup di dalamnya, dan tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini.
Para sahabat kami (Syafi’iyah) mengatakan, jika seseorang meniatkan shalat wajib sekaligus tahiyatul masjid atau shalat rawatib sekaligus tahiyatul masjid, maka semua itu sah, tanpa adanya perbedaan pendapat. (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 4/52) Demikian.
Wallahu A’lam.
Sumber: Alfahmu.id – Website Resmi Ustadz Farid Nu’man.
[red/Cms]