ChanelMuslim.com – Jika kita mendengar sekolah vokasi pastinya kita akan pandang sebelah mata. Istilah sekolah vokasi sebetulnya sudah kita kenal sejak lama. Dulu namanya diploma untuk menyiapkan mahasiswa pada pekerjaan dengan keahlian terapan tertentu sampai program sarjana terapan.
Di negara-negara maju seperti Jepang dan Jerman pendidikan ini dihargai oleh masyarakatnya. Bahkan di Jerman membuat sistem ganda pada pendidikan vokasinya.
Keunggulan sistem ganda pendidikan dan pelatihan vokasi Jerman telah sejak lama diakui banyak negara, termasuk Indonesia.
Pesantren Teknologi Informasi dan Komunikasi (PeTik) yang didirikan oleh Yayasan Lazis PLN, sekarang berubah nama menjadi Yayasan Baitul Maal PLN (YBM) PLN pada tahun 2010, sepertinya mengembangkan apa yang dilakukan di Jerman dan Jepang.
Ridwansyah, Kepala Kesekretariatan dan Umum PeTik menjelaskan sejarah awal sekolah vokasi ini.
"Pada awalnya proses belajar mengajar PeTik menempati ruko di daerah Cinere Depok. Kemudian pada tahun 2011 baru bisa menempati di gedung dengan luas tanaha 725 meter persegi ini," katanya saat ditemui ChanelMuslim.com, Rabu (22/5/2019).
Uniknya sekolah vokasi yang diterapkan oleh PeTik berbeda dengan vokasi lainnya, yaitu menggabungkan sekolah vokasi dengan sistem pesantren.
Kata mahasiswa pun diganti oleh PeTik menjadi Mahasantri agar senada dengan nama sekolahnya.
Jika kita berkunjung ke PeTik, maka kita akan melihat para mahasantrinya sedang menghapal quran di ruang asrama yang mereka tempati
Sistem seperti pesantren ini diterapkan ternyata bukan hanya agar para mahasiswanya lulus dalam akademik saja tetapi juga diharapkan hapal minimal dua juz qur'an setelah lulus.
Menurut Ridwan ada 50 mahasantri tiap tahunnya yang belajar di PeTik.
"Satu ruang asrama terdiri 10 orang mahasantri. Mereka belajar selama dua tahun di PeTik" katanya.
Belajar Pemograman dan Jaringan
Saat berkeliling di PeTik bersama blogger dan jurnalis, Ridwan menjelaskan bahwa mahasantri yang diterima memilih jurusan yang ingin dipelajarinya.
"Ada dua jurusan, pemograman dan sistem dan jaringan. Pemograman tujuannya agar mahasantri menjadi seorang programmer. Sedangkan sistem dan jaringan menjadikan mereka ahli IT dalam bidang sistem dan jaringan," tambahnya.
Salah satu mahasantri, Tubagus Sulaeman, mengaku memilih jurusan pemograman karena menyukai dunia programmer.
Selama setahun terakhir ini, ia mempelajari berbagai bahasa programmer seperti yang diterangkan oleh Ridwansyah.
"Belajar PHP, membangun website hingga aplikasi android," katanya.
Ketika ditanya apakah sudah bisa mengusai semuanya. Dengan tegas, Tubagus menjawab, Insya Alloh.
Bermukim dan Gratis Biaya
Mahasantri yang belajar di PeTik, kata Ridwan, digratiskan biaya.
"Semua yang belajar di sini gratis dan berasal dari berbagai daerah di Indonesia," katanya.
Tentu saja, kata Ridwan, mereka harus lulus seleksi yang diadakan PeTik. Syarat yang pertama ingin masuk di PeTik, pertama adalah lelaki.
"Di sini yang belajar semuanya adalah lelaki. Kami belum mencoba untuk perempuan," katanya.
Kedua, maksimal adalah tahun ketiga dari lulus SMA dan mampu membaca tulis Al Qur'an serta hapal 10 surat.
"Ketiga minimal nilai untuk jurusan IPA 7, IPS 7,5. Ditambah surat keterangan tidak mampu," tambahnya.
Ditambah ada beberapa dokumen lagi seperti keterangan sehat, kartu keluarga, KTP dan sebagainya.
"Jika sudah mengumpulkan, kami akan survei apakah layak atau tidak diterima di PeTik. Bila layak, ada proses wawancara setelah itu pengumuman di terima, katanya.
Tak Kalah dengan Lulusan Universitas Negeri
Umaruddin, Deputi Direktur Komunikasi SDM dan Akademis mengaku lulusan dari PeTik tidak kalah dengan universitas negeri. Meski hanya dua tahun tetapi lulusan PeTik mampu menghadapi persaingan dunia kerja.
"Di PeTik, meski dua tahun, tepatnya 11 bulan mereka belajar praktek bukan sekedar teori. Ketika diminta praktek mereka bisa mengerjakannya dengan baik," tambahnya.
Berbeda dengan lulusan universitas yang rata-rata gagap ketika menghadapi pewawancara kerja.
"Lihat saja, rata-rata penganguran adalah sarjana bukan mereka yang lulus sekolah vokasi," katanya.
Ketika ditanya mengapa tidak mencoba menyetarakan seperti sarjana yang mencapai empat tahun. Menurut Umaruddin pernah mau dicoba tapi karena jangka waktu yang lama dan pastinya penerima manfaat akan banyak berkurang.
"Masa vokasi yang mencapai empat tahun memang bagus, tapi kami lihat jangka waktunya lama. Maka kami memilih 11 bulan dan memaksimalkannya," katanya.
Dan ini terbukti selama kurun waktu 9 tahun setelah berdiri, PeTik telah menghasilkan lulusan yang diterima di berbagai perusahaan nasional. [Lam]