Ada seorang ibu di Jakarta yang jarang ditemukan kualitasnya di ibu-ibu umumnya. Anaknya ada sepuluh. Semuanya perempuan.
Sang ibu bukan sekadar sebagai ibu dari sepuluh putri. Bukan pula sebagai istri dari seorang suami. Ia juga seorang guru di sebuah sekolah menengah.
Sebelum berangkat mengajar, ia siapkan segala kebutuhan putrinya: seragam sekolah, bekal yang akan dibawa, dan tentu saja masakan untuk suami dan keluarga.
Ia juga bukan sekadar sebagai istri dan ibu. Ia juga seorang ustazah yang begitu tekun membimbing ibu-ibu dan muslimah di sekitar wilayahnya. Begitu banyak majelis taklim yang ia kelola.
Ketika Ramadan tiba, ada tugas tambahan bagi sang ibu ini. Ia kumpulkan binaan majelis taklimnya untuk mengikuti shalat tarawih berjamaah. Khususnya untuk yang tempat tinggalnya tak jauh dari rumahnya.
Dari sepuluh putrinya, semuanya lulus sarjana. Semuanya tumbuh besar sebagai muslimah solehah bahkan menjadi aktivis mengikuti jejak ibunya.
Sulit membayangkan seperti apa kesibukan tokoh ibu ini. Bagaimana ia mengatur jadwal waktunya yang sempit untuk bisa adil buat semua kewajibannya.
Tak ada biografi khusus yang ditulis untuk ibu ini. Ia kini memang sudah tiada. Tapi ‘jihadnya’ sudah tertulis khusus di catatan amal Allah subhanahu wata’ala.
Duhai ibu…
Tanpa profesi resmi dan aneka kesibukan sosial di luar rumah pun, engkau sudah terlalu sangat sibuk. Jam kerjamu tanpa batas, sepanjang hari, sepanjang malam.
Keikhlasan dan cinta kasihmu menghasilkan ‘karya’ yang tiada tara nilainya. Yaitu, sebuah generasi terbaik untuk umat dan bangsa ini.
Inilah hari mulia untukmu, Duhai Ibu. Tetaplah bersabar dan bersyukur. Karena Yang Maha Kasih dan Sayang sudah menyiapkan balasan istimewa untukmu esok.
Maafkan kedegilan putra-putrimu. Doakan mereka semua agar bisa menjadi pelanjut generasi sebaikmu.
Terima kasih, Duhai para Ibu… [Mh]