YAHYA Sinwar yang berusia 62 tahun terpilih menjadi pimpinan tertinggi Hamas setelah kepala politbiro kelompok perlawanan itu Ismael Haniyeh dibunuh oleh Israel di Teheran pada tanggal 31 Juli.
Meskipun Sinwar adalah musuh nomor satu negara supremasi Yahudi, ia mempelajari bahasa Ibrani selama 23 tahun masa penahanannya di penjara Israel yang terkenal kejam.
Ia berbicara bahasa itu dengan fasih.
“Ia mempelajari bahasa Ibrani dan juga mempelajari masyarakat Israel. Ia sangat memahami mentalitas orang Israel”, kata Yousef Alhelou, seorang analis politik Palestina.
Lahir di kamp pengungsi di Khan Younis seperti banyak warga Palestina lainnya, Sinwar, yang juga dikenal sebagai Abu Ibrahim, menceritakan masa kecilnya sebagai pengungsi dalam novel pertamanya, “The Thorn and Carnation”, yang diterbitkan dua dekade lalu.
Keluarganya telah diusir dari Ashkelon selama perang Arab-Israel tahun 1948, yang disebut Nakba (bencana) dalam bahasa politik Palestina.
Follow Official WhatsApp Channel chanelmuslim.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.
Sinwar sang novelis
Meskipun banyak orang Israel dan sekutunya mungkin merasa sulit untuk mempercayainya, Sinwar, salah satu “hewan manusia” dalam istilah para pemimpin Zionis, telah memberikan kontribusi besar bagi literatur Palestina, dengan menulis beberapa novel.
Dalam novel pertamanya yang berjudul Thorn and Carnation, narator utama Sinwar adalah Ahmed, cucu bungsu dari keluarga Palestina yang terusir dari Perang 1948.
“Ini bukan kisah pribadi saya, juga bukan kisah tentang orang tertentu, meskipun semua kejadiannya benar. Setiap kejadian di dalamnya atau setiap rangkaian kejadian berhubungan dengan orang Palestina,” tulis Sinwar dalam kata pengantar buku dari Penjara Beersheba miliknya.
Yahya Sinwar: Seorang Pengungsi, Novelis, Ahli Strategi, dan Pejuang (1)
Baca juga: Yahya Sinwar Terpilih Sebagai Pengganti Ismail Haniyeh
“Novel ini mengisahkan perjuangan keluarga yang kehilangan ayah dan paman dengan kondisi keras dari kamp pengungsian, dan peristiwa politik yang berlangsung selama 37 tahun,” tulis Amira Howeidy, jurnalis yang berbasis di Kairo, dalam sebuah artikel bulan ini untuk menjelaskan bagaimana penderitaan pribadi Sinwar telah terjalin erat dengan penderitaan umum Palestina.
Dalam novel Sinwar, putra tertua keluarga pengungsi tersebut bergabung dengan gerakan Fatah yang sekuler, sementara adik-adiknya bergabung dengan kelompok-kelompok yang terinspirasi oleh agama seperti Hamas, yang dibentuk pada tahun 1987, hampir tiga dekade setelah berdirinya Fatah.[Sdz]
Sumber: trtworld