SEBELUMNYA, dalam surat At-Takasur ayat 1 dijelaskan tentang memperbanyak dunia yang telah melalaikan. Dalam surat ayat 2-8 ini, Allah menjelaskan tentang akibat lalai dari mengingat Allah karena berlebih-lebihan.
Selain itu, ayat ini ditutup dengan penjelasan bahwa nikmat yang kita dapatkan akan ditanyakan.
Baca Juga: Surat At-Takasur Ayat 1, Memperbanyak Dunia telah Melalaikanmu
Surat At-Takasur Ayat 2-8, Kamu Pasti akan DItanya tentang Kenikmatan yang Didapatkan
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
حَتّٰى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَۗ
sampai kamu masuk ke dalam kubur. (At-Takāṡur [102]:2)
Selanjutnya Allah menjelaskan keadaan bermegah-megah di antara manusia atau dengan usaha untuk memiliki lebih banyak dari orang lain akan terus berlanjut hingga mereka masuk lubang kubur.
Dengan demikian, mereka telah menyia-nyiakan umur untuk hal yang tidak berfaedah, baik dalam hidup di dunia maupun untuk kehidupan akhirat.
Para ulama berpendapat bahwa menziarahi kuburan adalah obat penawar yang paling ampuh untuk melunakkan hati, karena dengan ziarah kubur itu manusia akan ingat mati dan hari akhirat, maka dengan sendirinya akan membatasi keinginan-keinginan yang bukan-bukan.
Nabi Muhammad bersabda:
كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ فَزُوْرُوا الْقُبُوْرَ فَإِنَّهَا تُزَهِّدُ فِى الدُّنْيَا وَتُذَكِّرُ اْلآخِرَةَ. (رواه ابن ماجه عن ابن مسعود)
Saya pernah melarang kamu menziarahi kubur, maka sekarang ziarahilah kubur itu, karena menziarahi kubur itu akan menjadikan zuhud dari kemewahan dunia dan mengingatkan kamu kepada kehidupan akhirat. (Riwayat Ibnu Mājah dari Ibnu Mas‘ūd)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُوْنَۙ
Sekali-kali tidak! Kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu). (At-Takāṡur [102]:3)
Kemudian Allah dengan ayat ini memperingatkan bahwa bermegah-megahan itu tidak pantas dikerjakan karena akibatnya buruk serta menimbulkan kekacauan dan permusuhan.
Sebaliknya Allah menganjurkan agar diciptakan kerukunan hidup, bantu-membantu dalam menegakkan kebenaran dan tolong-menolong dalam kebajikan dan dalam melestarikan hidup bermasyarakat, dengan membina akhlak yang luhur serta budi pekerti yang baik.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
ثُمَّ كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُوْنَ
Sekali-kali tidak (jangan melakukan itu)! Kelak kamu akan mengetahui (akibatnya). (At-Takāṡur [102]:4)
Allah mengulang ancaman-Nya melalui ayat ini dan merupakan ancaman sesudah ancaman, bagaikan seorang tuan berkata kepada hamba sahayanya bahwa agar tidak mengerjakan sesuatu, kemudian tuan itu mengulangi ucapannya itu.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
كَلَّا لَوْ تَعْلَمُوْنَ عِلْمَ الْيَقِيْنِۗ
Sekali-kali tidak (jangan melakukan itu)! Sekiranya kamu mengetahui dengan pasti, (niscaya kamu tidak akan melakukannya). (At-Takāṡur [102]:5)
Ayat ini merupakan peringatan Allah dalam bentuk perintah agar waspada terhadap tingkah laku yang buruk itu. Keinginan untuk berlebih-lebihan dapat menyibukkan seseorang untuk mengerjakan pekerjaan yang tidak bermanfaat.
Pendirian yang dianggapnya benar itu sebenarnya adalah salah. Itu hanya sangkaan belaka yang pasti berubah, karena tidak sesuai dengan kenyataan.
Yang harus menjadi pendirian adalah yang sesuai dengan kenyataan yang dapat disaksikan oleh mata, oleh perasaan atau berdasarkan dalil sahih.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لَتَرَوُنَّ الْجَحِيْمَۙ
Pasti kamu benar-benar akan melihat (neraka) Jahim. (At-Takāṡur [102]:6)
Dalam ayat ini, Allah menerangkan sebagian azab yang akan dialami oleh orang yang bermegah-megahan itu karena kelalaian tersebut.
Mereka akan ditimpa azab di akhirat, dan pasti akan melihat tempat itu dengan mata kepala mereka sendiri.
Oleh sebab itu, mereka hendaknya selalu merenungkan kedahsyatan azab itu dalam pikiran agar membawa mereka kepada perbuatan yang baik dan bermanfaat.
Maksud perkataan “melihat neraka Jahim” adalah merasakan azabnya, sesuai dengan tujuan Al-Qur’an dalam pemakaian kata-kata tersebut.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
ثُمَّ لَتَرَوُنَّهَا عَيْنَ الْيَقِيْنِۙ
Kemudian, kamu pasti benar-benar akan melihatnya dengan ainulyakin. (At-Takāṡur [102]:7)
Kemudian dengan ayat ini, Allah menguatkan isi ayat sebelumnya, bahwa azab itu benar-benar akan dirasakan oleh orang yang teperdaya itu.
Oleh karena itu, siapa saja dan dari golongan apa saja hendaklah bertakwa kepada Tuhannya serta menghindari perbuatan-perbuatan yang menyebabkan mereka disiksa.
Hendaknya seseorang itu memperhatikan nikmat-nikmat Allah yang ada padanya untuk dipelihara dan dipergunakan sesuai dengan fungsi nikmat tersebut. Juga hendaknya mereka tidak melakukan kejahatan, mengada-adakan kemungkaran, dan mengharap-harapkan ampunan Allah hanya semata-mata dengan pengakuan beragama Islam dengan memakai nama dan gelar yang muluk-muluk, sedangkan ia menyalahi hukum-hukum Al-Qur’an dan melakukan tindakan yang sama dengan musuh Islam.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
ثُمَّ لَتُسْـَٔلُنَّ يَوْمَىِٕذٍ عَنِ النَّعِيْمِ ࣖ
Kemudian, kamu pasti benar-benar akan ditanya pada hari itu tentang kenikmatan (yang megah di dunia itu). (At-Takāṡur [102]:8)
Allah lebih memperkuat lagi celaan-Nya terhadap mereka dengan mengatakan bahwa sesungguhnya mereka akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan-kenikmatan yang mereka megah-megahkan di dunia, apa yang mereka perbuat dengan nikmat-nikmat itu.
Apakah mereka telah menunaikan hak Allah daripadanya, atau apakah mereka menjaga batas-batas hukum Allah yang telah ditentukan dalam bersenang-senang dengan nikmat tersebut.
Jika mereka tidak melakukannya, ketahuilah bahwa nikmat-nikmat itu adalah puncak kecelakaan di hari akhirat. Diriwayatkan dari Nabi Muhammad, beliau berkata:
مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِيْ سِرْبِهِ مُعَافًى فِيْ جَسَدِهِ عِنْدَهُ قُوْتُ يَوْمِهِ فَكَأَنَّهُ حِيْزَتْ لَهُ الدُّنْيَا بِحَذَافِيْرِهَا. (رواه البخاري وأبو داود والترمذي وابن ماجه عن عبيد الله محصن)
Barangsiapa di antara kamu yang bangun pagi dalam keadaan aman sentosa pada dirinya atau aman di tempatnya, sehat wal afiat badannya serta mempunyai bekal hidup untuk harinya, maka seolah-olah dunia dengan segala kekayaannya telah diserahkan kepadanya. (Riwayat al-Bukhārī, Abū Dāwud, at-Tirmiżī, dan Ibnu Mājah dari ‘Ubaidillāh bin Muhṣan).
[Cms]