KATA pemuda tidak lagi menunjukkan anak muda yang beranjak dewasa. Orang yang beranjak tua pun disebut pemuda di lingkungan kita.
Kata pemuda sudah akrab di lingkungan kita. Ada sebutan pemuda yang menunjukkan ormas. Ada juga pemuda yang mengklasifikasi usia kepemimpinan organisasi massa.
Namun begitu, kata pemuda di berbagai organisasi itu tidak lagi original sebagai usia layaknya pemuda. Tapi hanya sebagai istilah saja, karena isinya adalah orang dewasa bahkan tua.
Perhatikanlah usia para pemimpin di ormas-ormas yang disebut ormas pemuda atau sub ormas yang membidangi pemuda. Lihatlah usia para pemimpinnya. Rata-rata di atas tiga puluhan, bahkan ada yang di atas tujuh puluh.
Remaja, Pemuda, Dewasa, dan Tua
Mestinya klaster sebutan di atas merujuk pada usia. Misalnya, remaja adalah mereka yang baru lepas dari masa kanak-kanak. Biasanya, usia mereka belasan tahun.
Sementara pemuda merujuk pada usia antara dua puluh hingga tiga puluh tahun. Usia tiga puluh hingga lima puluhan menunjukkan usia dewasa. Dan di atas enam puluhan adalah usia tua.
Dalam istilah Islam, ada sebutan fata atau fityah. Ada juga sebutan syabab. Kedua istilah itu menunjukkan mereka yang berusia belasan tahun hingga mereka menikah. Setelah menikah, mereka disebut dewasa.
Bisa jadi, meski usia masih dua puluhan, seseorang sudah memasuki usia dewasa. Hal ini karena mindsetnya tidak lagi pada permainan dan hobi, tapi sudah fokus pada tanggung jawab rumah tangga.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyebut istilah ‘syabab’ agar segera menikah, menunjukkan bahwa kata ini digunakan untuk mereka yang belum menikah. Padahal, para sahabat Nabi sudah menikah di usia dua puluhan tahun.
Jadi, jika seseorang disebut pemuda padahal usianya sudah empat puluhan, ada semacam inflasi dalam istilah pemuda. Yaitu, mundurnya masa usia pemuda.
Tidak heran jika begitu banyak mereka yang sudah berusia di atas tiga puluh tahun tapi merasa masih belum waktunya untuk menikah. Hal ini karena masa usia pemuda mereka masih panjang.
Lingkungan yang Permisif
Lingkungan yang permisif adalah yang serba membolehkan. Awalnya tidak boleh, tapi karena terjadi secara biasa, maka akhirnya menjadi boleh.
Contoh, pergaulan pria dan wanita yang bukan mahram. Di semua mazhab Islam mana pun, hubungan pria dan wanita begitu ketat. Batasan aurat boleh jadi ada perbedaan, tapi batasan pergaulan pria dan wanita sepakat adanya pembatasan.
Dahulu, pergaulan pria dan wanita tidak boleh bebas. Misalnya, kelas sekolah dipisahkan antara pria dan wanita. Seorang pria lajang yang ingin berkenalan dengan gadis, harus dilakukan di rumah si gadis dan didampingi orang tua.
Kini, semua pembatasan itu nyaris tidak ada. Bahkan di kalangan anak remaja ada istilah ‘jadian’. Yaitu, semacam kesepakatan tidak tertulis bahwa remaja pria menjadi pasangan yang ‘sah’ dari remaja wanita.
Karena sudah ‘jadian’, keduanya sudah seperti suami istri. Kemana-mana berdua. Saling antar jemput. Dan seterusnya. Anehnya, orang tua mereka membiarkan saja.
Lingkungan yang permisif inilah yang juga turut andil menjadikan para lajang untuk tidak segera menikah. Buat apa buru-buru, toh bisa ‘jadian’ tanpa harus menikah. Naudzubillah.
Ekonomi Biaya Tinggi
Hal lain yang juga turut menjadi andil penundaan nikah adalah ekonomi biaya tinggi. Biaya nikah menjadi begitu mahal, terutama pada acara resepsinya. Bahkan bisa ratusan juta.
Belum lagi biaya pasca nikah yang berada di atas garis standar. Misalnya, untuk kebutuhan rumah, kesehatan, pendidikan anak, dan seterusnya.
Bayangan ekonomi biaya tinggi inilah yang juga menjadikan para lajang merasa betah untuk terus sebagai pemuda.
Jadi, jangan heran jika usia di atas lima puluhan masih layak ingin disebut pemuda. Dan umumnya yang disebut pemuda masih ingin terus bebas, tanpa terikat hak kewajiban rumah tangga. [Mh]