Chanelmuslim.com – Inilah detik-detik terbunuhnya Hamzah bin Abdul Muthalib, sang singa Allah di tangan seorang budak. Simak cerita selengkapnya.
Perang Uhud pun tiba. Kedua pasukan sudah berhadapan. Hamzah berada di tengah-tengah medan perang dan kematian, mengenakan pakaian perang. Di dadanya terdapat bulu burung unta yang biasa ia kenakan saat berperang.
Hamzah berkelebat ke sana kemari. Tebasan pedangnya selalu mengenai sasaran. Seakan-akan dialah yang menentukan kematian. Siapa yang diinginkan mati, maka orang itu akan mati. Kaum musyrikin pun berjatuhan.
Pasukan Islam terus merangsek ke depan. Kemenangan sudah di depan mata. Sisa-sisa pasukan kafir lari tunggang-langgang.
Akan tetapi, regu pemanah pasukan Islam meninggalkan posisi mereka. Mereka turun dari atas bukit, ikut mengumpulkan rampasan perang.
Seandainya saja mereka tidak meninggalkan posisi mereka sehingga pasukan berkuda musuh tidak punya kesempatan menyerang pasukan Islam, tentu Perang Uhud menjadi kuburan massal bagi orang-orang kafir Quraisy, bahkan kuda dan unta mereka.
Saat itulah, pasukan berkuda mmenyerang pasukan Islam dari belakang hingga mereka jadi bulan-bulanan pedang yang berkelebetan.
Kaum muslimin kembali mengatur barisan, bahkan sebagian pasukan sudah meletakkan senjata mereka ketika melihat pasukan musuh lari tunggang-langgang.
Akan tetapi, serangan pasukan berkuda musuh sangat cepat. Hamzah melihat bahaya yang sedang terjadi. Ia kerahkan semua kekuatan dan semangatnya untuk mengatasi situasi itu.
Ia menjaring ke kiri dan ke kanan, ke depan ke belakang. Sementara itu, Wahsyi terus mengintainya. Menunggu kesempatan yang tepat untuk melemparkan tombaknya ke tubuh Hamzah.
Baca Juga: Penghormatan bagi Hamzah bin Abdul Muthalib, Panglima Para Syuhada
Detik-detik Terbunuhnya Hamzah bin Abdul Muthalib di Tangan Seorang Budak
Marilah kita dengarkan Wahsyi bercerita.
“Aku seorang Habsyi. Aku mahir melempar tombak dengan teknik Habsyi, hingga jarang sekali lemparanku meleset. Ketika orang-orang mulai berperang, aku mencari-cari Hamzah.
“Aku melihatnya di tengah medan perang menerjang ke sana kemari. Tidak seorang pun mampu berhadapan dengannya. Demi Allah, aku bersiap-siap membidiknya. Aku bersembunyi di balik pohon, menunggu saat yang tepat, atau ia mendekat ke arahku.
“Tiba-tiba, seorang tentara kafir, Siba’ bin Abdul Uzza; menerjang ke arah Hamzah. Hamzah melihatnya, “Ke sinilah, hai anak tukang sunat.” Lalu Hamzah menebaskan pedangnya, dan tepat mengenai leher Siba.’
“Ini kesempatan yang tepat,” pikirku. Aku arahkan tombakku, lalu aku lemparkan ke arahnya, dan tepat mengenai punggung bagian bawah hingga tembus ke bagian depan. Ia berusaha mengejarku, tapi ia roboh dan meninggal.”
Aku mendekati mayatnya. Aku ambil tombakku. Aku kembali ke perkemahan dan beristirahat. Tugasku sudah selesai; membunuh Hamzah untuk kebebasanku.
Sesampainya di Mekah aku pun dibebaskan dari perbudakan. Aku tetap bermukim di sana sampai Rasulullah memasuki Mekah pada peristiwa Fathu Mekah. Aku lari ke Thaif.
Ketika perwakilan warga Thaif menghadap Rasulullah untuk masuk Islam, aku kebingungan, mau lari ke mana: Syam, Yaman, atau tempat lain?
Demi Allah, dalam kebingungan itu seseorang berkata kepadaku, “Bodoh kamu. Demi Allah, Rasulullah tidak akan membunuh orang yang masuk Islam.”
Aku pergi ke Madinah untuk bertemu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Di Madinah. Aku langsung berdiri di depannya dan mengucapkan syahadat.
Beliau bertanya, “Apakah kamu ini Wahsyi?”
“Benar ya Rasulullah,” jawabku.
Beliau bersabda, “Ceritakanlah kepadaku bagaimana kamu membunuh Hamzah”
Aku pun bercerita sampai selesai. Setelah itu, beliau bersabda, “Keterlaluan kamu ini. Mulai sekarang, jangan perlihatkan wajahmu di depanku.”
Sejak saat itu, aku selalu menghindar dari Rasulullah agar beliau tidak melihatku, hingga Allah memanggilnya.
Ketika kaum muslimin pergi untuk menghentikan pemberontakan Musailamah penguasa Yamamah, aku ikut serta dengan membawa tombak yang dulu kugunakan untuk membunuh Hamzah.
Di tengah berkecamuknya perang antara pasukan Islam dengan pasukan Musailamah berdiri menghunuskan pedang. Aku siapkan tombakku. Aku terus membidiknya.
Ketika kuperkirakan sudah tepat, maka kulemparkan tombakku sekencang-kencangnya, dan tepat mengenai sasarannya.
Jika dulu tombak ini kugunakan untuk membunuh orang terbaik (Hamzah), maka sekarang kugunakan untuk membunuh orang terburuk (Musailamah). Aku berharap, Allah mengampuni dosaku.” [bersambung/dn]
Sumber: 60 Sirah Sahabat Rasulullah SAW/Khalid Muhammad Khalid/Al Itishom