BAGAIMANA seorang hakim mencium tangan terdakwa. Ternyata hakim itu adalah murid dari sang terdakwa. Terdakwa adalah guru SD yang dituntut orang tua murid karena dianggap melakukan kekerasan pada anak.
Kemudian lapor polisi. Padahal sang hakim senior bisa menjadi seorang hakim karena didikan keras dari gurunya.
Saya juga mengalami beberapa pengalaman yang semuanya membuat Alhamdulillah saya jadi struggle tanpa bantuan polisi.
1. Waktu SD kelas 1, Ibu Jumilah, guru saya, kasih saya nilai 5,5 terus untuk pelajaran Bahasa Indonesia (dikte).
Lalu sorenya, di rumah, saya dihukum ketika semua anak makan sekoteng saya disuruh nulis huruf sambung berulang-ulang oleh bapak saya.
Sejak itu sampai sekarang, kalau lihat sekoteng saya benci. Saya enggak doyan sekoteng tapi ketika akhirnya di kelas 2 akhir saya bisa baca.
Ayah saya berlangganan majalah Kawanku dan Bobo. Lalu, kalau datang majalah itu segera diantar ke sekolah dan saya baca dan baca sehingga akhirnya saya jadi gemar baca.
Dari gemar membaca itulah saya gemar menulis dan menuangkan pemikiran.
2. Saya dulu enggak bisa bahasa Inggris. Saya tak paham sama sekali. Dulu juga nggak ikut les LIA.
Sementara di kelas ada yang namanya Fifi Herawati pintarnya selangit dan Bahasa Inggrisnya jago banget. Dan dia selalu dipanggil ke depan untuk menjawab soal tenses di kelas 1 SMP.
Sementara saya, Fifi Proklawati dapat nilai 2 untuk ujian Bahasa Inggris oleh Ibu Ratna yang cantik.
Tapi saya enggak dendam, diam-diam saya belajar sama kakaknya teman dan untuk ke rumahnya harus lewati jalan kecil yang ada orang gilanya.
Jadi kalau pulang dari les Bahasa Inggris, saya mesti siap-siap lari karena orang gila itu membawa kayu dan kayak menunggu saya.
Begitu lihat saya, dia pasti mengejar saya sampai saya menangis-nangis di ujung jalan, ketemu mikrolet langsung naik dan dihibur sama supir mikrolet.
3. Waktu kuliah, saya juga pernah dibentak sama dosen karena saya asik ikutan follow up daurah Mentari di musholla kampus.
Jadinya telat melulu, diusir dan dibentak-bentak. Dosennya ibu-ibu, teman kerja bapak saya. Jadi saya paham beliau marah karena saya enggak disiplin.
Saya malu banget karena mata kuliah itu digabung dengan beberapa kelas. Saya kemudian jadi omongan.
Baca Juga: JISc, JIBBS dan JIGSc Gelar Rapat Kerja, Ini Pesan Mam Fifi kepada Pengajar
Hakim Mencium Tangan Terdakwa
Tapi atas semua penderitaan itu, saya akhirnya merasakan hasilnya di kemudian hari. Gara-gara dikejar orang gila saya jadi berani bikin sekolah Islam Internasional.
Jadi kekerasan dan disiplin yang diterapkan dalam pendidikan di masa lalu bisa jadi menghasilkan kita yang kayak gini.
Kalau orang tua malah lembek-lembek dan cenderung bela anak dan dikit-dikit lapor polisi karena enggak terima anaknya kena tindakan disipliner. Apakah anaknya nanti akan jadi tegar dan berhasil?
Kita suka lupa, mungkin kita berhasil karena didikan yang keras itu. Kalau didikan diperlunak apalagi dimanja, saya khawatir anak-anak mungkin tak seberhasil kita.
Pedang jadi pedang karena besi yang ditempa, bukan yang dielus-elus. Saya ingat, anak saya kelas 1 SMP menangis-nangis di pagi hari karena kasurnya di pesantren ada kutu dan harus dijemur.
Saya enggak membantu. Orang tua enggak boleh bantu. Lalu dia juga sengsara karena bisa mencuci baju hanya hari Rabu petang.
Setelah dicuci lalu dijemur. Eh dikencingin monyet. Dan saya pun hanya bisa menangis diam-diam di balik telepon di Jakarta.
Sementara dia di ujung kampung di negeri Jiran. Sekolah Melayu yang sampingnya hutan, banyak monyetnya.
Ya, pendidikan kita akan menentukan anak kita nanti jadi membesar dengan manja atau membesar dengan dewasa.
Tergantung kita, orang tuanya dan mungkin bapak polisi. Tergantung akan melibatkan siapa dalam pendidikan anak. Allahu’alam.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan,
“Diangkat pena dari tiga golongan manusia (amalan mereka tidak dicatat, -pen.):
dari anak kecil sampai ia dewasa, dari orang gila sampai ia sadar, dan dari orang yang tidur sampai ia bangun.”
(HR. Abu Dawud dan selain beliau, dinyatakan shahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil no. 2207)
(Catatan Mam Fifi, Februari 2019)
By: Fifi P. Jubilea, S.E., S.Pd., M.Sc., Ph.D. (Oklahoma, USA)
Founder and Owner of Jakarta Islamic School, Jakarta Islamic Boys Boarding School (JIBBS), Jakarta Islamic Girls Boarding School (JIGSc)
Visit: //www.facebook.com/fifi.jubilea
Jakarta Islamic School (JISc/JIBBS/JIGSc): Sekolah sirah, sekolah sunnah, sekolah thinking skills (tafakur), sekolah dzikir dan sekolah Al-Qur’an, School for leaders
For online registration, visit our website:
𝗵𝘁𝘁𝗽𝘀://𝘄𝘄𝘄.𝗷𝗮𝗸𝗮𝗿𝘁𝗮𝗶𝘀𝗹𝗮𝗺𝗶𝗰𝘀𝗰𝗵𝗼𝗼𝗹.𝗰𝗼𝗺/
Further Information:
0811-1277-155 (Ms. Indah; Fullday)
0899-9911-723 (Mr. Mubarok; Boarding)
Website:
https://ChanelMuslim.com/jendelahati
https://www.jakartaislamicschool.com/category/principal-article/
Facebook Fanpage:
https://www.facebook.com/jisc.jibbs.10
https://www.facebook.com/Jakarta.Islamic.Boys.Boarding.School
Instagram:
www.instagram.com/fifi.jubilea
Twitter:
https://twitter.com/JIScnJIBBs
Tiktok:
https://www.tiktok.com/@mamfifi_jisc