Chanelmuslim.com – Keyakinan Hamzah bin Abdul Muthalib kepada Muhammad shallalallahu alaihi wa sallam. Hamzah sudah mengetahui keistimewaan dan kesempurnaan keponakannya itu. Ia tahu betul kepribadian dan akhlaknya.
Kota Mekah masih terlelap dalam tidur nyenyaknya. Termasuk orang-orang Quraisy. Rutinitas kerja, ibadah dan bermain membuat mereka kelelahan.
Hanya ada satu orang yang terjaga. Ia sudah tidur beberapa jam di awal malam. Dan sekarang ia terjaga dari tidurnya karena ia punya janji dengan Allah.
Ia mengambil posisi ibadah di sudut kamarnya, lalu ia bermunajat kepada Allah, dan terus bermunajat. Beberapa kali istrinya terjaga karena mendengar rintih doa penuh harap dari suaminya.
Laki-laki itu sedang bermunajat kepada Tuhannya dengan segala pengharapan. Setiap kali terjaga, sang istri memohon kepadanya untuk tidak berlebihan dalam bermunajat.
Memohon kepadanya untuk beristirahat yang cukup agar badannya tetap sehat. Namun, laki-laki itu selalu menjawab dengan tetesan air mata, “Khadijah, waktu istirahat sudah lewat.”
Memang sepak terjang laki-laki ini belum memusingkan orang-orang Quraisy, walaupun sudah mulai menyita sedikit perhatian mereka. Ia baru saja memulai dakwahnya.
Ia sampaikan ajaran agamanya dengan sembunyi-sembunyi dan berbisik-bisik. Orang-orang yang beriman kepadanya waktu itu masih sangat sedikit.
Di antara orang-orang yang belum beriman, ada yang simpati dan hormat.
Ada keinginan kuat di hati orang-orang ini untuk beriman dan bergabung bersama orang-orang yang diberkahi, namun mereka terhalang oleh adat, lingkungan, keyakinan nenek moyang, dan keraguan.
Hamzah bin Abdul Muthalib, paman dan saudara sepersusuan Nabi shallallahu alaihi wa sallam adalah satu dari mereka.
Hamzah sudah mengetahui keistimewaan dan kesempurnaan keponakannya itu. Ia tahu betul kepribadian dan akhlaknya.
Tidak sebatas antara pemain terhadap keponakannya, tetapi sebagai saudara dan teman. Usia Rasulullah dan Hamzah tidak berbeda jauh.
Keduanya tumbuh dan bermain bersama-sama. Juga menyusu dari ibu susu yang sama. Keduanya memulai perjalanan hidup bersama-sama, selangkah demi selangkah.
Memasuki masa remaja, keduanya mengambil jalan sendiri-sendiri. Hamzah sibuk bersaing dengan teman-temannya untuk bisa menikmati hidup, dan menempati posisi penting di jajaran para pembesar Quraisy.
Sedangkan Muhammad memilih untuk fokus pada pancaran ruhani yang membimbingnya ke jalan Allah.
Ia memilih mengikuti suara hatinya yang mengajaknya menjauh dari kesemrawutan Mekah dan pergi menyendiri untuk merenung dan bersiap-siap menyambut datangnya kebenaran.
Meskipun demikian, Hamzah tidak pernah mengabaikan sifat-sifat mulia yang dimiliki keponakannya itu.
Kemuliaan-kemuliaan yang menjadikan pemiliknya menempati tempat tersendiri di hati masyarakat. Sekaligus melukiskan masa depannya yang gemilang.
Pagi hari itu, seperti biasa Hamzah keluar rumah. Di dekat Ka’bah ia mendapati beberapa Quraisy. Ia duduk bersama mereka, mendengarkan apa yang mereka bicarakan.
Rupanya mereka sedang membicarakan Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Dan untuk pertama kalinya Hamzah melihat mereka diliputi rasa gelisah disebabkan oleh dakwah yang dilakukan oleh keponakannya.
Dari ucapan mereka, tampak adanya kemarahan, kebencian dan kedengkian Sebelum itu mereka tidak peduli, atau pura-pura tidak peduli.
Tetapi hari ini wajah mereka merah padam dan mengerikan, seakan ingin menerkam.
Hamzah tertawa panjang. “Kalian ini terlalu membesar-besarkan.”
Sontak Abu Jahal menegaskan kepada rekan-rekannya bahwa sebenarnya Hamzah lebih tahu akan bahaya ajaran Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, tetapi ia menganggapnya sepele agar orang-orang Quraisy tetap tertidur.
Dan setelah terjaga, semuanya sudah terlambat. Orang-orang Quraisy tidak bisa lagi membendung dakwah Muhammad, karena sudah menjadi besar.
Baca Juga: Penghormatan bagi Hamzah bin Abdul Muthalib, Panglima Para Syuhada
Keyakinan Hamzah bin Abdul Muthalib kepada Muhammad
Pembicaraan terus berlanjut. Penuh ketegangan, dan kata-kata bernada ancaman sering terlontar. Hamzah kadang terlihat tersenyum, dan kadang marah.
Pembicaraan pun selesai. Mereka kembali ke urusan mereka masing-masing. Sementara itu, kepala Hamzah dipenuhi pikiran-pikiran baru. Perhatiannya sekarang tertuju kepada keponakannya. Ia terus merenung.
Waktu terus berjalan. Desas-desus seputar ajaran Muhammad yang disebarkan orang-orang Quraisy semakin membesar. Kemudian berubah menjadi hasutan.
Hamzah terus memperhatikan perkembangan yang terjadi.
Ia terkesan dengan ketabahan keponakannya. Orang-orang Quraisy sudah terbiasa dengan pengorbanan dan ketegaran.
Akan tetapi, pengorbanan dan ketegaran yang pertontonkan Muhammad demi memperjuangkan iman dan dakwahnya benar-benar bentuk pengorbanan yang baru.
Seandainya saat itu “keraguan” dapat menggoyahkan kepercayaan seseorang terhadap kebenaran Rasulullah dan sifatnya yang mulia, maka itu tidak berlaku untuk Hamzah, karena ia mengenal Muhammad sejak masa kanak-kanak, remaja, hingga dewasa. Ia orang suci dan bisa dipercaya.
Ia mengenal Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, seperti ia mengenal dirinya sendiri, atau lebih mengenal Muhammad daripada mengenal dirinya sendiri.
Keduanya lahir bersamaan, tumbuh bersama, dan mencapai kedewasaan bersama.
Sejauh itu, perjalanan hidup Muhammad selalu cemerlang seperti sinar matahari. Hamzah tidak mendapati satu cacat pun. Ia tidak pernah marah, putus asa, serakah, menghina atau berbuat sia-sia.
Hamzah bukan saja bertubuh kuat, ia juga cerdas dan berkemauan keras. Karena itu, mustahil kalau ia tidak memantau orang yang sudah dikenal kejujurannya itu.
Perihal ini sengaja ia pendam untuk sementara waktu, karena sebentar lagi juga akan terungkap.[bersambung/dn/ind]
Sumber: 60 Sirah Sahabat Rasulullah SAW/Khalid Muhammad Khalid/Al Itishom