ChanelMuslim.com- Pasangan itu keseimbangan. Harmonis itu langgeng. Bisakah pasangan yang tetap selaras dan seimbang bisa diraih tanpa pacaran?
Pasca remaja, pria dan wanita mendambakan rumah tangga sakinah, mawadah, dan rahmah. Dambaan itu tentu harus melalui sebuah pintu: nikah.
Pasalnya, bisakah dambaan itu bisa diperoleh jika nikah dengan seseorang yang belum dikenal dekat. Bahkan tahu nama dan gambarnya pun melalui orang lain.
Rasa yakin dan ragu pun timbul tenggelam seperti penampakan perahu kecil di tengah ombak besar. Kalau memang mungkin, bagaimana caranya?
Nikah Dulu, Baru Pacaran
Bahasan ini agak aneh buat sebagian orang. Kok nikah dulu baru pacaran. Apa nggak terbalik? Bukankah pacaran sebagai langkah memuluskan nikah?
Pertanyaan ini sudah terjawab dalam beberapa bahasan sebelumnya. Pendek kata, pacaran adalah jalan sesat menuju keharmonisan rumah tangga. Karena justru dengan pacaran, pernikahan jadi kehilangan keberkahan, gersang, dan membosankan.
Maha benar Allah dalam firmanNya, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya, Dia menciptakan untukmu pasangan-pasangan dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Rum: 21)
Perhatikan ayat itu. Allah mendahului menyebut jodoh atau pasangan, baru kemudian dampak atau hasil dari berpasangan. Bukan sebaliknya, “mencicipi” dampak dari berpasangan baru kemudian berpasangan yang sebenarnya.
Jalan yang Allah tunjukkan ini tentu jauh lebih benar dan baik. Karena Allahlah yang menciptakan kita. Yang menciptakan pasti lebih tahu tentang ciptaannya.
Kalau nggak cocok gimana? Kan repot membatalkan pernikahan. Sementara jika belum nikah, kan bisa diganti dengan calon pasangan baru.
Di sinilah salahnya logika orang Barat. Mereka tidak memiliki aturan yang baku tentang sakralnya hubungan pria dan wanita, sehingga hubungan yang sensitif itu bisa diuji coba. Kalau oke, terus. Kalau gagal, putus.
Padahal, relativitas cocok-tidaknya hubungan pria dan wanita, tidak boleh menggilas aturan dasar. Bahwa pria dan wanita yang berduaan akan didominasi syahwat yang macam-macam. Sementara itu, relativitas kecocokan itu sebagai hal yang biasa.
Dengan kata lain, jangan aturan bakunya yang digilas demi meminimalisir relativitas kecocokan. Tapi, relativitasnya itu yang harus diluruskan demi kelanggengan ikatan pernikahan.
Kalau kecocokan butuh waktu, itu memang pasti. Tapi, upaya membangun kecocokannya masih dalam koridor yang dibenarkan. Yaitu, dalam ikatan suami istri. Bukan dalam hubungan liar yang lepas dan bebas.
Logikanya, lebih baik hubungannya halal tapi masih dalam proses menunggu rasa cinta. Daripada, menikmati kecocokan cinta tapi masih dalam hubungan yang tidak halal.
Hubungan yang halal pasti akan menghasilkan seribu satu keberkahan, mulai dari lahirnya keturunan, hingga soal sakinah, cinta, dan kasih sayang. Tapi cinta yang tidak memiliki kehalalan, yang lahir hanya tipu-tipuan dan penyesalan. [Mh/bersambung]