ChanelMuslim.com – Setelah berpisah dengan suaminya, Elizabeth Gilbert mengalami depresi. Dia memutuskan untuk pergi mengasingkan diri dan mencari jalan spiritualnya untuk menyembuhkan luka batinnya. Tidak seperti kisah sebelumnya, Gilbert mengaku bahwa penyembuhan yang benar-benar menginspirasi dirinya adalah pada saat dia berada di sebuah perkampungan nelayan di sekitar NTB yang mayoritas beragama Islam. Penulis buku terlaris ini, untuk pertama kalinya, berbagi kisah pertemuan dengan seorang wanita lokal di desa nelayan terpencil, dan bagaimana kisah itu menyembuhkan luka batinnya dan terus membentuk hidupnya.
Berikut adalah kisah tentang perjalanan yang Gilbert lakukan yang mengubah hidupnya, dan tidak dengan cara yang direncanakannya.
Elizabeth Gilbert's Life-Changing Story from Indonesia (That You Haven't Heard)
oleh: ELIZABETH GILBERT
Kembali pada tahun 2002, aku pergi sendirian selama sepuluh hari ke sebuah pulau nelayan kecil di tengah Indonesia. Itu adalah tempat terjauh yang bisa aku temukan di peta, dan yang aku inginkan saat itu adalah sejauh mungkin menjauh dari semua yang aku kenal. Hidupku berantakan. Hidupku, pada kenyataannya, tampak seperti pai yang jatuh; semuanya ada di lantai berkeping-keping. Aku mengalami perceraian yang buruk, dan dalam proses itu aku kehilangan seorang suami, kehilangan rumah, kehilangan uang, kehilangan teman, kehilangan tidur yang nyenyak, kehilangan diri sendiri. Jadi aku membawa diri ke pulau kecil ini 10.000 mil dari rumah, di mana aku menyewa gubuk bambu kecil yang harganya beberapa dolar sehari. Rencananya adalah menghabiskan sepuluh hari dalam keheningan dan isolasi. Aku berharap bahwa menjadikan diriku kecil dan tenang akan menyembuhkan. Aku kira apa yang sebenarnya aku inginkan hanyalah menghilang, dan pulau ini tampaknya merupakan tempat yang tepat untuk itu. Tidak ada internet dan tidak punya akses telepon. Transportasi terdiri dari kapal penangkap ikan, atau gerobak kayu yang ditarik oleh kuda kurus. Di sini, tentunya, aku bisa bersembunyi dari dunia.
Segera, aku tenggelam dalam rutinitas. Setiap hari, berjalan dua kali mengelilingi seluruh pulau — sekali saat fajar dan sekali lagi saat senja. Sementara berjalan, aku akan mencoba bermeditasi, tetapi biasanya malah berakhir dengan berdebat dengan diri sendiri, atau merenungkan banyak kegagalan hidup ketika menangis. Sedangkan untuk sisa hari itu, aku lebih banyak tidur. Aku sangat tertekan. Aku tidak membawa buku apa pun untuk menghilang. Aku tidak berenang, tidak berjemur dan hampir tidak makan. Aku hanya mengeksekusi dua kali berjalan, dan sisa waktu aku habiskan dengan bersembunyi di gubuk dan berharap kesedihan hilang dari dariku.
Ada beberapa turis lain di pulau itu, tetapi mereka semua adalah pasangan romantis dan mereka kebanyakan mengabaikanku — aku hanyalah seorang wanita yang kurus, bermata cekung, yang berbicara sendiri dan mengeluarkan getaran aneh. Nelayan lokal juga bisa melihat itu setiap kali aku lewat. Mungkin aku benar-benar menghilang dari dunia material. Aku tentu merasakan hal itu. Tetapi ada seorang wanita yang melihatku — dan itu mengubah segalanya. Dia adalah istri nelayan setempat, dan dia tinggal di gubuk kecil di sisi lain pulau. Seperti semua penduduk setempat, dia adalah Muslim. Dia berpakaian sopan, dengan jilbab. Dia tampaknya berusia pertengahan tiga puluhan, namun dia telah menghabiskan seumur hidup di bawah sinar matahari sehingga usianya sulit ditentukan. Dia memiliki balita kecil yang gemuk yang selalu merangkak dan bermain di kakinya.
Pagi pertama aku berjalan di dekat rumahnya, wanita itu mengangkat kepala dari pekerjaannya di kebunnya dan tersenyum kepadaku. Aku balas tersenyum, sebisaku.
Setelah itu, dia selalu tampak berdiri di luar rumahnya ketika aku lewat — sekali saat fajar dan sekali lagi saat senja. Setelah beberapa saat, sepertinya dia menungguku untuk datang. Dia adalah satu-satunya titik kontakku dengan manusia di dunia, dan pengakuannya tentang keberadaanku membuatku merasa kesepianku menghilang sedikit. Suatu kali, aku melirik ke arahnya, dan aku melihat bahwa dia masih menjagaku, tangannya menaungi matanya. Dia mengawasiku, seperti apa rasanya.
Pada malam kedelapanku di pulau itu, aku sakit parah. Mungkin karena keracunan makanan, atau air minum yang terkontaminasi — atau mungkin hanya karena akhirnya aku telah mencapai dasar kesedihanku dan akhirnya semua hal buruk keluar dari diriku. Aku gemetaran dan demam, muntah dan ketakutan. Mengerikan sekali terisolasi dan sakit. Juga, generator tidak bekerja malam itu; tidak ada cahaya. Aku ingat merangkak menuju kamar mandi dalam kegelapan untuk kesepuluh kalinya dan bertanya-tanya, Mengapa aku datang ke sini, begitu jauh dari siapa pun yang peduli tentangku?
Keesokan harinya aku tetap di tempat tidur, gemetaran, berkeringat, dan dehidrasi. Aku membayangkan hal yang mengerikan, aku akan mati sendirian di pulau ini dan ibuku tidak akan pernah tahu apa yang terjadi padaku.
Malam itu, setelah matahari terbenam, ada ketukan di pintu. Dengan kaki gemetar, aku berjalan dan membukanya. Itu adalah wanita dari sisi lain pulau – istri nelayan. Dia tidak berbicara bahasa Inggris, dan aku tidak berbicara bahasa Indonesia, tetapi jelas bahwa dia memeriksaku dan dia khawatir. Ketika dia melihat kondisiku, dia terlihat lebih khawatir. Dia mengacungkan jari, seperti berkata, “Tunggu!”
Kurang dari satu jam kemudian, dia kembali. Dia membawakan sepiring nasi, beberapa ramuan cincang, dan sebotol air bersih. Dia datang ke gubuk dan duduk di sisi tempat tidurku sementara aku memakan setiap gigitan makanan penyembuh ini. Aku mulai menangis. Dia merangkulku dan aku menenggelamkan tubuhku dalam pelukannya seolah-olah dia adalah ibuku sendiri — meskipun usia kami hampir sama. Dia tinggal bersamaku selama sekitar satu jam, sampai aku tenang. Dia tidak mengatakan sepatah kata pun; dia hanya duduk denganku, memelukku, seolah berkata, “Aku melihatmu. Kamu nyata. Aku akan tinggal bersamamu. Aku akan memastikan kamu akan baik-baik saja.”
Hanya setelah dia pergi barulah aku mampu mengumpulkan semua kejadian dan memastikan jika ini sebuah kenyataan 9bukan mimpi, ed). Orang asing ini datang untuk menemukanku karena dia memperhatikan bahwa saya telah melewatkan jalan pagi dan jalan-jalan sore saya dan dia dapat dengan jelas mengetahui, ada yang tidak beres. Dan karena ini adalah pulau-nya — wilayahnya — dia juga tahu jika aku sendirian, dia mengambil keputusan untuk merawatku. Dia, yang hanya memiliki sedikit hal untuk dibagikan, menjadikanku tanggung jawabnya dan mengambil risiko untuk mendatangiku.
Jarak yang aku tempuh mungkin sangat jauh (10.000 mil dari rumah), tetapi jarak yang ia tempuh lebih jauh (sepanjang jalan melintasi pulau, dia mengetuk pintu orang asing mencari keberadaanku) dan kebaikan tindakannya membuat hatiku terpesona dan keheranan. Dan saat itulah aku menyadari bahwa seluruh keinginan hatiku sudah salah. Aku membutuhkan kebalikan dari keterasingan, aku membutuhkan hubungan dengan orang lain. Orang asing ini telah melihat kebutuhanku dan dia menawarkan persahabatan. Dengan melakukan itu, dia tidak hanya menyembuhkan fisikku tetapi juga mengajarkanku pelajaran ini: Jangan menyendiri dan jangan sombong. Lihat orang lain, dan biarkan diri kamu dilihat oleh orang lain. Bantu orang lain dan biarkan diri kamu dibantu. Bangun hubungan dan terbukalah untuk kebaikan.
Ketika aku pulang ke Amerika, aku merasa tidak begitu bangga. Aku menghubungi orang lain. Aku bertemu dengan orang lain yang bisa diajak bicara tentang masalahku. Aku berbagi kerentanan dan kesedihanku dan mendapatkan teman baru, kemudian membangun komunitas baru sebagai hasilnya. Aku mengulurkan tangan untuk cinta dan pertolongan — dan pada akhirnya itulah yang membuatku baik-baik saja lagi.
Aku belum pernah menceritakan kisah ini sebelumnya, jadi mengapa menceritakannya sekarang?
Aku menceritakan kisah ini karena terjadi hampir satu tahun setelah 11 September 2001. Aku adalah seorang warga New York yang kotanya baru saja diserang. Banyak orang telah memperingatkanku agar tidak pergi ke Indonesia karena mereka berkata bahwa aku — seorang wanita Amerika, bepergian sendirian — tidak akan aman di sana. Tapi bagaimanapun akhirnya aku pergi ke Indonesia, tepat di jantung komunitas Islam kecil, dan di sana aku bertemu dengan satu manusia paling baik yang pernah aku kenal. Dia menyelimutiku dengan aman ketika aku merasa sangat takut, dan dia membantuku untuk sembuh. Dia juga menjadi contoh bagiku tentang bagaimana kita diharapkan untuk saling menjaga satu sama lain di dunia — model yang telah aku coba jalani sejak saat itu.
Aku menceritakan kisah ini karena aku tidak akan pernah melupakan wajah wanita itu, dan aku sangat berharap dia tidak akan pernah melupakan wajahku. Setiap kali aku mendengar orang-orang menjadi ketakutan tentang dunia Islam, aku memikirkannya. Adalah harapan aku bahwa aku akan selalu menjadi representasi barat bagi dirinya — dan bahwa aku menunjukkan kemanusiaanku sama seperti dia menunjukkan kemanusiaannya kepadaku.
[Maya/ diterjemahkan dari tulisan Elizabeth Gilbert di cntraveler.com]