TSIQAH adalah sifat teladan para sahabat Nabi radhiyallahu ‘anhum. Mereka tsiqah dengan Allah, Rasululullah, khulafaur rasyidin, dan sesama mereka.
Dalam bahasa Indonesia, tsiqah diterjemahkan dengan percaya. Lalu, bagaimana dengan kata iman yang juga diterjemahkan dengan percaya.
Inilah kesulitan bahasa Indonesia menerjemahkan bahasa yang derajatnya jauh lebih tinggi. Sehingga, beberapa kata yang berbeda kadang diterjemahkan dengan kata yang sama.
Apa Arti Tsiqah
Tsiqah makna sederhananya mempercayai kredibilitas dan integritas seseorang atau sesuatu. Jadi tsiqah kepada Allah dan RasulNya adalah meyakini bahwa Allah dan Rasulnya tidak mungkin dusta, menyimpang, tidak adil, dan lainnya.
Pernah ada sebuah peristiwa ujian tsiqah untuk para sahabat terhadap kebijakan Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam.
Suatu hari, terjadi perjanjian Hudaibiyah antara umat Islam yang dipimpin Rasulullah dengan Quraisy yang diwakili Suhail bin Amr.
Kesepakatan itu tampak tidak adil. Antara lain, jika ada muslim Mekah yang akan hijrah ke Madinah harus harus dilarang dan dipulangkan ke Mekah. Sementara jika ada orang Madinah yang murtad dibolehkan ke Mekah.
Menariknya, saat itu ada warga Mekah yang masuk Islam. Orang itu bernama Abu Jandal. Ia ingin sekali pergi bersama umat Islam ke Madinah.
Tapi karena adanya perjanjian itu, Abu Jandal harus tetap tinggal di Mekah. Abu Jandal memohon kepada Rasulullah untuk bisa ikut bersama ke Madinah. Tapi Nabi tidak mengizinkan.
Abu Jandal bingung bukan main. Ia tidak diperbolehkan hijrah ke Madinah, sementara jika tetap tinggal di Mekah kemungkinan besar akan mengalami penyiksaan dan pembunuhan.
Akhirnya, ia memutuskan untuk pergi ke perbatasan antara Mekah dan Madinah. Di satu sisi, ia tidak berada di Madinah, dan di sisi lain ia bisa selamat dari kejahatan orang Quraisy.
Peristiwa dramatis ini begitu “menyayat” hati para sahabat yang saat itu ikut hadir dalam perjanjian Hudaibiyah.
Umar bin Khaththab bahkan mengisyaratkan ke Abu Jandal untuk mencabut pedang di pinggang Umar untuk membunuh sejumlah tokoh Quraisy yang hadir. Tapi hal itu tidak dilakukan Abu Jandal.
Para sahabat yang lain juga sebenarnya bingung dengan sikap Nabi dalam perjanjian ini. Tapi karena mereka tsiqah, segala keraguan mereka hindari.
Setelah beberapa bulan perjanjian ini berlangsung, barulah para sahabat memahami hikmahnya.
Yaitu, jika ada yang masuk Islam tapi harus tetap tinggal di Mekah, maka orang-orang ini akan menjadi dai untuk masyarakat Mekah lainnya.
Sementara untuk mereka yang murtad atau munafik di Madinah yang ingin kembali ke Mekah, pada hakikatnya mereka adalah sampah yang tak ada gunanya tinggal di Madinah.
Benar saja, setelah waktu yang cukup lama, pengaruh dari perjanjian Hudaibiyah ini begitu luar biasa. Begitu banyak warga Mekah yang ternyata sudah masuk Islam dan menanti penaklukan umat Islam terhadap kota mereka.
Ketika hal ini disadari pihak Qura[sy, keadaannya sudah sangat terlambat. Dan pengaruh dari perjanjian ini, Mekah akhirnya begitu mudah ditaklukkan oleh umat Islam. Tanpa ada pertumpahan darah.
Pertanyaannya, apakah kita tetap tsiqah kepada keadilan dan pertolongan Allah? Dan tsiqah pula dengan kebijaksanaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam. [Mh]